Film 'Yuni' telah tayang di bioskop Indonesia sejak 9 Desember 2021. Film garapan sutradara Kamila Andini ini menyita perhatian karena mengangkat isu patriarki yang berkelindan dengan tradisi agama terkait posisi perempuan di masyarakat.
Sebelum ditayangkan di bioskop Indonesia, film yang dibintangi oleh Arawinda Kirana (pemeran Yuni) ini telah menyabet berbagai penghargaan, di antaranya dalam Festival Film Internasional Toronto dan terpilih mewakili Indonesia untuk seleksi ajang Academy Award kategori Best Foreign Language.
Arawinda pribadi juga meraih penghargaan sebagai Pemeran Perempuan Terbaik di Piala Citra dan Silver Yusr Award for Best Actress Red Sea International Film Festival 2021.
Dengan bahasa Jawa ngapak berdialek Sunda dan mengambil latar di suatu daerah di Serang, Banten, film ini diawali dengan fragmen di mana tokoh Yuni berangkat ke sekolah mengendarai sepeda motor matic warna ungunya.
Sampai di sekolah, Yuni dan beberapa murid perempuan basah kuyup karena kehujanan dalam perjalanan. Seorang guru di sekolahnya menyampaikan pengumuman mengenai tes keperawanan terhadap seluruh siswi.
Yuni, yang dikenal sebagai remaja perempuan maniak warna ungu (semua barang miliknya berwarna ungu), berbisik-bisik dengan teman-temannya saat mendengar pengumuman itu.
Salah satu gambaran budaya patriarki yang diangkat dalam film ini adalah tradisi mengawinkan anak perempuan di bawah umur. Bahkan, tidak sedikit anak perempuan di sekolah Yuni yang putus sekolah karena harus menerima lamaran laki-laki. Mereka dicekoki mitos bahwa menolak lamaran akan membuat jodoh mereka jauh, sehingga mereka takut untuk tidak menerima lamaran dan merelakan masa depan dan cita-cita mereka.
Yuni sendiri dilamar tiga kali dan ketiganya ia tolak. Bahkan, ia juga kabur menjelang prosesi ijab kabul dengan Pak Damar, calon suaminya yang merupakan guru Bahasa Indonesia-nya di sekolah. Bukan lantaran ia telah memergoki Pak Damar sebagai laki-laki dengan seksualitas tak lazim (mencoba jilbab di ruang ganti toko baju di pasar), melainkan karena ia memilih mengejar cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan, di samping ia juga tidak mencintai Pak Damar--kecuali sekadar kagum.
Gambaran budaya patriarki lainnya yang diangkat dalam film ini adalah soal pandangan masyarakat, termasuk kaum perempuan sendiri, yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya hanya akan bekerja di dapur, sumur, dan kasur.
Anggapan ini, kita tahu, sudah melekat dan membudaya dalam masyarakat Indonesia secara umum, sehingga perempuan yang mencoba melawan "tradisi" itu dianggap aneh dan ganjil.
Anggapan itu, seiring waktu, memang mulai memudar semenjak perempuan bebas untuk bersekolah tinggi, namun tetap saja, masih ada anggapan bahwa perempuan tetap harus menuruti apa kata laki-laki (dalam hal ini suami).
Tak cuma mencoba melawan patriarki yang mengakar karena budaya lokal, film Yuni juga mencoba mendobrak tradisi berbau patriarkis yang lahir dari penafsiran akan ajaran agama Islam.
Salah satunya perihal doktrin 'suara perempuan adalah aurat' yang membuat perempuan tidak boleh bersuara di hadapan orang banyak, terutama menyanyi.
Dalam salah satu adegan, Yuni, yang tinggal di lingkungan yang menganggap suara sebagai aurat, sempat khawatir saat diajak menyanyi dalam sebuah pertunjukan kecil yang diadakan sebuah band.
"Di sini suara bukan aurat kan?" tanyanya kepada salah satu anggota band.
Dari sisi sinematografi, film Yuni mulai menujukkan kemajuan dalam perfilman Indonesia. Latar yang ditampilkan sudah mewakili orisinalitas keadaan di Indonesia pada umumnya: kehidupan di perkampungan warga yang sederhana, membeli kebutuhan di warung, emak-emak yang suka bergosip, dan kehidupan di pasar tradisional dan penuh sesak.
Pun adegan-adegan tabu mulai ditonjolkan, mulai dari adegan saat Yuni memakai celana dalam dan bra sebelum berangkat ke sekolah, saat Yuni mengganti pembalut di toilet sekolah, juga saat Yuni berciuman hingga bersenggama dengan tokoh Yoga (diperankan oleh Kevin Ardilova).
Akan tetapi, adegan-adegan itu tidak ditampilkan secara 'all-out" sehingga menjadi terkesan dipaksakan atau "gaya-gayaan" semata demi memenuhi apa yang disebut sebagai totalitas akting.
Agaknya, jika hanya karena adegan-adegan tabu itu 'Yuni' dianggap bagus atau layak masuk nominasi Best Foreign Language Academy Award, penilaian itu masih berburu-buru.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: