Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk, bikin cerita dan konten serumu, serta dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
INDOZONE.ID - Dalam pesatnya perkembangan lanskap musik kontemporer dunia, seniman Indonesia mendapat peran penting dalam BEAST FEaST 2025, salah satu festival musik elektroakustik paling bergengsi di dunia.
Kali ini, bukan hanya suara musik elektronik konvensional yang mengisi panggung, melainkan tubuh manusia itu sendiri yang diolah menjadi musik elektroakustik melalui karya: PANJAGO: Body - Sound – Improvisation.
Panjago adalah karya kolaborasi pasangan suami istri seniman lintas disiplin ilmu dari Indonesia, Hario Efenur dan Rani Jambak, bersama Prof. Scott Wilson, seniman dan profesor musik elektroakustik dari University of Birmingham, Inggris.
Baca Juga: Berkolaborasi dengan Playlist Live Festival, Bloom Fest Gaet Musisi Lokal hingga Internasional
Karya ini berupa performance musik elektroakustik yang memadukan seni bela diri tradisional Minangkabau (silek/silat), improvisasi musik digital, dan teknologi suara imersif.
Pertunjukan komposisi musik eksperimen kolaborasi ini dipentaskan Jumat (2/5/2025) di The Dome - Bramall Music Building, University of Birmingham, Inggris, dalam event tahunan BEAST (Birmingham Electroacoustic Sound Theatre) FEaST 2025, festival musik elektroakustik yang telah berlangsung rutin sejak 2015.
“Di Panjago, kami bukan hanya memainkan musik. Kami menghidupkan tubuh sebagai sumber bunyi, sumber pengetahuan dan spiritualitas. Hentakan kaki, desah napas, dan gerak tubuh diamplifikasi serta diolah menjadi ritme dan nada,” ungkap M. Hario Efenur, seniman asal Lasi, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Saat ini, Hario memang tengah meriset silek sebagai basis musik tubuh dalam studi doktoralnya di ISI Surakarta.
Ia dikenal berkat pendekatan inovatifnya dalam menggunakan tubuh sebagai instrumen musik, dan telah membawakan pertunjukan serupa ke berbagai panggung di tanah air maupun dalam kolaborasi-kolaborasi internasional.
Istilah musik elektroakustik mungkin belum populer di Indonesia. Genre musik ini muncul sekitar tahun 1940-an di Prancis, menggunakan teknologi untuk memproses dan memanipulasi suara akustik—baik dari suara alam, instrumen tradisional, maupun tubuh manusia.
Ini agak berbeda dari genre musik elektronik murni yang lahir di Jerman tahun 1950-an, yang sepenuhnya dihasilkan melalui sinyal sintetis dan instrumen digital.
Di Tanah Air seniman Rani Jambak, istri Hario, adalah salah satu komposer dan musisi yang intens mengeksplorasi musik elektroakustik melalui karya-karya soundscape kreatifnya.
Ia banyak merekam bunyi-bunyian di alam dan suara aktivitas manusia, yang kemudian diolahnya dengan teknologi digital menjadi komposisi musik kreatif.
Rani adalah pemenang The Oram Award 2022, di Inggris. Ia dikenal karena karyanya yang banyak mengangkat lanskap bunyi Indonesia, kritik terhadap perubahan ekologis, dan penciptaan instrumen musik berbasis budaya seperti Kincia Aia (kincir air).
Dengan pengalamannya merekonstruksi tradisi Minangkabau melalui musik elektroakustik, Rani cukup berhasil menjembatani akar budaya dan inovasi teknologi.
“Dalam karya Panjago, instrumen utama berasal dari suara yang dihasilkan oleh setiap gerakan silek yang dilakukan Hario, yang ditangkap oleh sensor kamera, dan diolah menjadi nada dan ritme,” kata Rani, yang sering dijuluki sebagai seniman perempuan pemburu bunyi, karena berbagai aktivitasnya dalam merekam suara-suara.
Panjago disusun sebagai narasi seni musik dan pertunjukan dalam tiga tahap yang masing-masing mengangkat filosofi utama silek.
Pada tahap pertama, suara tubuh Hario menjadi pusat. Bunyi napas, hentakan kaki, hingga gesekan kain “diperdengarkan” secara langsung dalam konteks sebuah bentuk latihan silek.
Di sini, audiens juga diperkenalkan pada lanskap suara Minangkabau yang otentik, seperti suara hutan malam, suara adzan dari kejauhan, hingga senyapnya suasana nokturnal.
Tahap kedua menjadi wilayah transisi antara tubuh dan teknologi. Gerakan silek Hario yang ditangkap oleh kamera sensor menjadi pemicu suara elektronik yang diciptakan secara interaktif oleh Rani.
Filosofi silek pada tahap ini adalah "menunjukkan ego", mengindikasikan eksplorasi gerakan silek yang fokus pada demonstrasi kekuatan, ketangkasan, atau ekspresi diri melalui gerakan, yang kemudian direspon dengan suara elektronik dari instrumen musik digital yang digarap Rani, sebagai feedback atau interpretasi sonik untuk setiap gerakan silek Hario.
Tahap ketiga adalah improvisasi. Hario bermain-main dengan gerakan silek-nya untuk mengintegrasikan suara elektronik yang telah dihasilkan sebelumnya.
Ia bereaksi terhadap suara elektronik dengan gerakan baru, atau sebaliknya, gerakannya memicu improvisasi lebih lanjut pada suara elektronik.
Pada tahap ini, Rani Jambak dan Scott Wilson melakukan improvisasi musik secara langsung (live) dengan musik digitalnya. Mereka menciptakan musik secara spontan, merespons gerakan Hario.
Scott Wilson, profesor kelahiran Canada yang juga direktur dari BEAST, masuk dalam “arena improvisasi” menggunakan teknik musik live coding.
Dalam teknik dilakukannya itu, Scott menulis dan memodifikasi coding secara langsung real time untuk memanipulasi suara dari frekuensi instrumen talempong batu, sebuah alat musik tradisional Sumatera Barat.
Pada tahap puncak ini terjadi proses pengendalian ego, dari pelepasan fokus pada demonstrasi individu mengarah ke interaksi kolektif. Itulah filosofi silek.
"Lahia silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan", artinya “secara lahir silek mencari kawan, secara batin silek mencari Tuhan.”
Di panggung, masing-masing seniman melepas egonya dan melakukan interaksi kolektif berupa improvisasi.
Secara keseluruhan, struktur musikal Panjago terbangun dari elemen-elemen musik digital Rani, musik live coding Scott, dan suara lanskap dari gerak silek Hario beserta visual gerakan silek-nya sendiri. Semua elemen berpadu menjadi bentuk “ber-silek” antar-media di panggung.
"Di pertunjukan, tiga disiplin seni saling berkomunikasi, dan hubungan tubuh dengan teknologi dapat terjalin. Konsep Panjago menembus konsep tempat dan waktu, di mana pengetahuan silek menempatkan sikap adaptif menjadi sikap utama bagi pelakunya," jelas Hario.
BEAST (Birmingham ElectroAcoustic Sound Theatre) merupakan sistem tata suara khusus yang dirancang untuk pertunjukan musik elektroakustik, yang didirikan sebagai bagian dari University of Birmingham sejak 1982 oleh Jonty Harrison.
BEAST terkenal karena sistem suara multi-kanalnya yang imersif, yang telah menjadi standar internasional untuk presentasi musik elektroakustik.
Sistem BEAST dome 32-kanal memungkinkan karya-karya musik elektroakustik seperti Panjago untuk memproyeksikan suara dalam bentuk ruang spasial 360 derajat.
Penonton tidak hanya mendengar suara, tetapi mereka dikelilingi dan diserap oleh suara, seolah tubuh mereka turut menjadi bagian dari panggung.
BEAST FEaST yang diselenggarakan oleh BEAST dan Electroacoustic Music Studios di Music Department, University of Birmingham, Inggris, sejak 2015, telah berkembang menjadi salah satu festival paling strategis untuk eksperimen bunyi elektroakustik di dunia.
Edisi tahun ini BEAST FEaST 2025 mengusung tema "Southeast/Northwest”, menghadirkan 42 seniman dari 23 negara-negara di Asia Tenggara dan Eropa Barat Laut.
Sebanyak 41 karya musik dipentaskan dalam 9 sesi konser, ditambah sesi diskusi panel artis, sesi pemutaran film dokumenter, dan 3 karya seni instalasi suara.
Kolaborasi Scott Wilson bersama Hario Efenur dan Rani Jambak melalui karya Panjago yang didukung oleh British Council melalui program Connections Through Culture ini menunjukkan bahwa seniman Indonesia mampu mengolah warisan budaya berupa tradisi dan spiritualitas lokal, menjadi karya seni artistik modern, dan memiliki kualitas setara dengan karya dari pusat-pusat seni global.
Karya ini menandai tonggak penting dalam diplomasi budaya Indonesia melalui proses eksplorasi dan mendefinisikan ulang bentuk seni sebagai kontribusi strategis dalam percakapan seni global, yang menegaskan bahwa warisan lokal layak dilestarikan dan dikembangkan menjadi bahasa universal.
“Panjago adalah upaya kami untuk mengajak warisan leluhur berdialog dengan masa depan. Kami tidak ingin membekukan budaya, kami ingin menggerakkannya ke arah yang lebih lentur dan reflektif, tanpa kehilangan substansi dan value-nya,” jelas Rani, yang juga banyak dikenal lewat kampanye #futureancestor.
BEAST FEaST 2025 ini menjadi ruang strategis bagi seniman Indonesia. Selain pasangan Hario Efenur dan Rani Jambak, tampil juga beberapa seniman Indonesia lainnya dalam event yang berlangsung dari tanggal 1 sampai 3 Mei 2025 ini. Mereka adalah Otto Sidharta, Patrick Hartono, dan Hery Kristian Buana Tanjung.
Otto Sidharta adalah pionir musik elektronik di Indonesia. Sejak era tahun 70-an, ia banyak menggabungkan soundscape dan filosofi lokal dalam karya-karya eksperimentalnya.
Doktor bidang musik ini menunjukkan dedikasinya yang tinggi pada inovasi dan warisan budaya bunyi. Di BEAST FEaST 2025 ia menampilkan dua karya, yaitu “Kajang” dan “Munaba.”
Dalam BEAST FEaST 2025 juga terdapat sesi pemutaran perdana film dokumenter “Otto Sidharta: The Sound Wanderer" karya Jean-David Caillouët, seniman dan pembuat film berkebangsaan Prancis.
Film dokumenter tentang Otto Sidharta ini merupakan apresiasi terhadap kiprah Otto sebagai pionir musik elektronik di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Sedangkan Patrick Hartono adalah komposer elektroakustik dan seniman audiovisual kelahiran Makassar yang kini mengajar di Goldsmiths, London.
Di BEAST FEaST 2025 ia menampilkan "Hutan Plastik", karya audiovisual yang menyuarakan tragedi rencana penghancuran 36.094,4 hektar hutan Papua Barat untuk sawit, dan mempertanyakan dampaknya bagi lingkungan serta generasi depan.
Sementara Hery Kristian Buana Tanjung adalah komposer musik eksperimental elektroakustik asal Samarinda.
Sayangnya, karena ada kondisi duka cita di keluarga, Hery tidak jadi hadir secara fisik, namun karyanya, "Bor(N)eo", tetap ditampilkan di BEAST FEaST 2025.
Dalam Bor(N)eo ia memproses rekaman suara tenun stagen menggunakan teknologi untuk memanipulasi frekuensi dan tempo, membayangkan transformasi suara hutan Kalimantan menjadi bunyi sintetis melalui pendekatan minimalisnya.
Melalui Panjago, Indonesia tidak hanya hadir sebagai partisipan, tetapi juga sebagai penyumbang gagasan dan bentuk baru dalam lanskap seni suara kontemporer.
Di tengah arus global, Panjago menunjukkan bahwa tubuh, tradisi, dan teknologi bisa menjadi satu kesatuan bahasa untuk masa depan seni yang inklusif dan lintas budaya.
Selain itu, keikutsertaan para seniman Indonesia dalam BEAST FEaST 2025 menandai babak penting dalam pemajuan seni eksperimental tanah air di forum internasional.
Baca Juga: Ramadhan Jazz Festival 2025 Kembali Suguhkan Wadah Dakwah Lewat Musik dengan Line Up Favorit Gen Z
Melalui keberanian bereksperimen dan kekayaan tradisi yang dikemas secara inovatif, Indonesia bisa tampil sebagai salah satu kekuatan kreatif yang layak diperhitungkan di panggung seni dunia.
Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk, bikin cerita dan konten serumu, serta dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Pers Rilis