Di era serba teknologi saat ini, semua industri mau tak mau harus berani bertransformasi. Begitu pun dengan industri musik. Perkembangan teknologi dari analog ke digital secara langsung turut mengubah proses produksi musik, termasuk musik bergenre rock.
Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya penjualan album fisik. Misalnya, grup rock 'God Bless' berhasil menjual sekitar 400 ribu copy melalui album 'Semut Hitam' pada 1998. Sedangkan pada era semi-digital, Jamrud bisa menembus angka 2 juta copy melalui album 'Ningrat' pada 2000.
Padi, Dewa, dan Cokelat adalah beberapa band dengan embel-embel rock -rock alternatif atau pop-rock- juga pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi bisnis, sebelum era digital benar-benar bergulir.
Era digital dalam produksi musik ibarat 'taman bermain' bagi musisi. Mereka bisa menciptakan efek suara, bereksperimen, dan proses rekaman menjadi lebih praktis.
Namun, kehadiran teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakat bahwa teknologi digital begitu berguna dalam proses produksi. Hanya, permasalahannya saat ini adalah format musik digital MP3 begitu mudah diunduh, disebar, dan dinikmati dalam bentuk 'bajakan'.
"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tidak terlalu terasa. Tapi ketika CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan di mana-mana. Tapi, musik tetap bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho, beberapa waktu lalu.
Produk bajakan memang bukan hal baru dalam industri musik, karena sudah terjadi sejak zaman kaset pita. Jadi, bukan alasan bagi musisi untuk habis akal, meski pada praktiknya tetap susah untuk dilawan.
Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan setelah era itu hingga tahun 2010, tidak ada album yang bisa menembus satu juta kopi lagi. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy saja sudah mendapat gelar platinum.
Tentu, hal itu adalah dekade yang penuh tantangan untuk pemusik. Lantas, bagaimana mereka bertahan dalam periode transisi teknologi dan bisnis itu?
"Jangan karena pernah jual satu juta copy dan sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah dan malas. Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya saat teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana peluang pada masa depan," tambah Ronny.
Melihat kondisi itu sebagai tantangan, harapannya bisa menjadi pemicu semangat musisi-musisi Indonesia untuk terus berkarya. Yakin saja, jika karya terbaik akan tetap dicari. Toh, musik tidak akan pernah mati, sekalipun dengan hadirnya digital.
Eet Sjahranie -gitaris Edane dan mantan personel God Bless- tidak punya resep khusus untuk bertahan di dunia musik rock selama lebih 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.
"Kuncinya karena senang. Bukan tak butuh duit, tapi kalau senang, ya tidak kepikiran yang lain. Berkarya saja terus," kata Eet.
Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tidak mau ambil pusing soal pergeseran teknologi dari analog ke digital. Meski ia mengakui hal itu turut mengubah pola pendengar dari kaset pita ke streaming melalui ponsel.
"Digital itu memberikan hal yang praktis. Tidak ada kesulitan dan memang harus ikut zaman," katanya.
Studi 'Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net' dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menemukan ada tiga jenis pendengar musik.
Pertama adalah pendengar yang siap atau berusaha membeli karya. Kedua, yang tidak pernah membeli, tapi menikmati musik melalui radio atau televisi. Ketiga, penikmat musik bajakan.
Saat penjualan CD menurun dengan kemudahan akses musik bajakan di mana-mana, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tidak perlu membajak musik karena cukup mendengarkan melalui aplikasi streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan tetap membeli album fisik.
Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi tetap mendapatkan haknya.
Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli menilai era musik rock sudah lebih terbuka dan lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.
"Sekarang, rock semakin ramai. Kalau saya punya anak pada era 2000-an, mungkin rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, dan kawan-kawannya," katanya.
"Tapi, anak rock sekarang bisa saja habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, dan lain-lain. Mereka tak salah, memang era ini membuat referensi menjadi banyak," kata vokalis grup musik Harapan Jaya itu.
Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup mencarinya di ponsel.
"Saat saya buka Youtube, saya mau tahu the latest band rock. Ternyata, banyak yang saya belum tahu. Ternyata, ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi, ada juga band rock yang lain, yang berbeda," kata Ronny.
Bukan sekadar membuat musik lebih praktis, era streaming juga memberikan harapan kepada para musikus untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang diputar secara digital.
"Sejauh ini belum cek detail. Tapi, ada report dari record company kalau memang ada yang masuk dan digital itu ada efeknya," kata Eet.
Peluang untuk berkarya bagi calon musikus terbuka seluas-luasnya di era musik streaming. Berkat kemudahan digital, musik bisa diproduksi di rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien, dan dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.
Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musikus tidak hanya menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga penjualan merchandise dalam satu paket.
"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: