Kategori Berita
Media Network
Kamis, 09 MARET 2023 • 22:06 WIB

Beruntungnya Musik Galau Era Kini, Gak Dilarang Seperti di Era Orde Baru karena Alasan Ini

Penyanyi Betharia Sonata yang lagunya disebut lagu cengeng di era Orde Baru. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja).

Di era kekinian, lagu-lagu galau dari penyanyi Indonesia dengan mudahnya bisa dinikmati oleh pecinta musik Indonesia. Namun bayangkan bila lagu-lagu itu diproduksi dan diedarkan di era orde baru, khususnya di antara tahun 1988 dan 1989. Tentu ceritanya akan lain.

Mungkin di era dahulu disebutnya lagu cengeng, karena istilah galau belum trend di era tersebut. Tentunya artinya tidak ada bedanya. Mungkin diksi cengeng memang terkesan terlalu kejam kalau dipakai di era sekarang.

Seperti apa musik galau atau cengen era dulu? Berikut ini penjelasannya.

Lagu patah hati sudah mulai dari era 1960-an. 

Mengutip buku yang ditulis pengamat musik Denny Sakrie, pada era orde baru beberapa lagu-lagu cengeng sudah mulai ditulis sejak era 1960-an dari eranya Rahmat Kartolo. 

Di era 1970-an, lagu mendayu-dayu dan sendu pun banyak beredar di masyarakat. Bahkan banyak musisi yang tampilannya rocker sangar ikut bikin lagu-lagu yang sebetulnya cengeng.

Sebut saja AKA dengan “Badai Bulan Desember” dan The Rollies dengan “Kau yang Kusayang” yang malah lebih dikenal oleh masyarakat ketimbang karya cadasnya. Pencampuran jenis ini merupakan cikal bakal sub genre slow rock seperti karya-karya Deddy Dores.

Baca Juga: Kumpulan Lagu Galau Indonesia Terbaru 2022, Liriknya Mungkin Mirip Kisah Kalian

Lagu-lagu cengeng menggema di era 1980-an

Namun puncaknya ada di era 1980-an, dimana Obbie Mesakh, Pance, Betharia Sonata, Nia Daniaty, dan beberapa nama lainnya kerap membawakan lagu cengeng. 

Tema patah hati, penderitaan, tangis sesenggukan, hingga kasus KDRT menjadi mesin uang bagi label rekaman seperti JK Records dan Lollypop. Christine Pandjaitan, Nia Daniaty, dan Dian Pisesha adalah bintang – bintang yang sukses membawakan peran wanita yang terzalimi pada setiap penampilannya di TVRI. 

Salah satu lagu yang cengeng sangat populer di era 80-an adalah "Hati yang Luka" yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata. Lagu ini menggema di seantero negeri, seolah ikut hanyut dengan lagu tema pernikahan yang kandas karena ada lirik "pulangkan aku ke rumah orang tuaku." 

Rezim orde baru muak dengan lagu cengeng.

H. Harmoko. (ANTARA)

Ternyata lagu-lagu itu membuat geram rezim pada saat itu. Sehingga lewat Menteri Penerangan Harmoko, tercetuslah larangan untuk mendengarkan lagu cengeng di TVRI.

Tepatnya pada perayaan ulang tahun TVRI ke-26, Harmoko mengatakan dengan tegas “Stop lagu-lagu semacam itu.” merujuk pada lagu-lagu cengeng dan keseluruhan acara pun dipenuhi dengan pertunjukkan musik yang ceria. Mulai detik itu juga TVRI dan RRI dilarang memutarkan lagu-lagu cengeng.

Alasan pelarangan karena menghambat pembangunan.

Ilustrasi lagu cengeng dilarang orde baru. (Youtube).

Harmoko menyebut Hits “Hati Yang Luka” yang dirilis tahun 1988 ciptaan Obbie Messakh dan dinyanyikan Betharia Sonata mengandung lirik yang ‘melumpuhkan semangat’, hal itu dinilai sangat kontradiktif dengan semangat pembangunan yang digaungkan pemerintah orde baru.

TVRI sebagai corong pemerintah, dianggap punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja. Sehingga lagu-lagu itu dianggap tak layak muncul di era tersebut.

Semangat bekerja rakyat dalam pembangunan tidak akan berhasil apabila mata acara TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai ratapan patah semangat berselera rendah, atau kesedihan akibat keretakan rumah tangga. Harmoko berpendapat apa yang digambarkan dalam lagu-lagu cengeng itu bukanlah kenyataan yang ada dalam masyarakat

Namun hal itu kemudian dibantah oleh Obbie Mesakh. eperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner's Guide, Obbie Mesakh mengaku mencipta lagu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena itu, sejumlah lagu karya Obbie merupakan gambaran nyata dari kehidupan ini.

Imbas positif untuk musisi 'pop kreatif'.

Pelaranganlagu cengeng menjadi momentum bagi musisi-musisi beraliran jazz fusion dan new wave yang kental dengan bunyi-bunyian dari alat synthesizer. Media menyebutnya sebagai pop kreatif yang menampilkan lagu-lagu ala city pop dari Jepang.

Pengusung aliran pop kreatif seperti Fariz RM, Candra Darusman, Dian Pramana Poetra, Dodo Zakaria, Utha Likumahua, dan banyak lainnya meraih popularitas di era ini. Ada pula Band seperti Krakatau, Emerald, dan Karimata yang namanya sudah lebih dulu wangi di ajang festival Yamaha Light Music Contest jadi bisa menunjukkan bakatnya di layar kaca.

Diksi pop kreatif sendiri seakan menggiring opini masyarakat bahwa aliran ini lebih keren dan mewakili gemerlap kehidupan perkotaan dibandingkan pop cengeng yang norak, kampungan, dan ketinggalan jaman.

Baca Juga: 7 Alasan Lagu Galau Lebih Laris di Pasaran Menurut Ilmuwan, Merasa Dimengerti dan Dipeluk

Musik cengeng secara psikologis memang mudah menjual

Ilustrasi kendengarkan lagu galau. (Freepik/fabrikasimf)

 

Seorang produser musik terkenal Denny Chasmala pernah menyebutkan dalam sebuah obrolan singkat bahwa musik galau memang secara psikologis mudah disukai dan laku untuk dijual. Selain itu, lagu yang memang dibuat dengan kisah nyata dan apa yang dialami merupakan salah satu bentuk kreativitas, sehingga pelarang membuat lagu cengeng dan galau adalah mematikan kretivitas.

Sehingga lambat laut pelarangan tersebut mulai mengendur. Lagu-lagu sedih dan mendayu, terutama soal percintaan, kembali mewarnai jagad musik Indonesia. Apalagi di era saat ini, bisa terhitung lagu galau yang laris manis di pasaran. 

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Beruntungnya Musik Galau Era Kini, Gak Dilarang Seperti di Era Orde Baru karena Alasan Ini

Link berhasil disalin!