INDOZONE.ID - Aktor Morgan Oey mengungkapkan soal kesamaan yang ia rasakan dalam memerankan karakter Edwin di film Pengepungan di Bukit Duri".
Morgan Oey, yang memerankan Edwin menjelaskan melalui film ini, ia berharap penonton dan masyarakat Indonesia bisa menjadikan film ini sebagai medium untuk terapi. Isu-isu tentang kekerasan dan trauma di masa lampau, bisa dibicarakan dengan lebih terang.
Selain itu, Ia juga menyoroti keresahan dalam budaya kekerasan di kalangan remaja yang membuat kejadian di masa lalu kembali terulang di masa sekarang.
Baca Juga: Transformasi Penjara Jadi Sekolah, Begini Tantangan Set Film 'Pengepungan di Bukit Duri'
Handi Morgan Winata yang biasa disapa akrab Morgan Oey ini berdarah campuran Dayak dan Tionghoa. Ia menyuarakan beberapa keresahan yang dialaminya ketika dia bertumbuh di kota Singkawang, tempat tinggal etnis Tionghoa terbesar di Indonesia, kota yang paling toleransi.
Omara Esteghlal, Morgan Oey, Hana Malasan, Joko Anwar, dan Tia Hasibuan. (INDOZONE/Nadya Mayangsari) "Keresahan-keresahan yang kebetulan kalau misalnya ditanya 'relate gak sama karakter Edwin' kebetulan saya relate, walaupun saya tumbuh dan besar di kota Singkawang, yang mungkin bisa dibilang 'kota yang paling toleransi di Indonesia', ujar Morgan Oey saat jumpa pers di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025).
Namun, pengalaman masa lalu dapat meninggalkan dampak yang mendalam dan berkepanjangan, bahkan mempengaruhi generasi berikutnya.
Meskipun Morgan tumbuh di lingkungan yang toleran seperti kota Singkawang, namun trauma dan dampak dari peristiwa masa lalu masih dapat dirasakan.
"Tapi karena ada satu dan dua hal kejadian di masa lampau, efeknya tuh benar-benar generational, event yang saya besar seperti di kota Singkawang saja yang toleransinya tinggi itu saja masih kena dampak, trauma, makanya kenapa itu sifatnya generational," jelasnya.
Baca Juga: Sinopsis dan Pemeran “Pengepungan Di Bukit Duri” Film Terbaru Joko Anwar
Hal ini menunjukkan bahwa efek dari pengalaman masa lalu bisa bersifat generational, yaitu artinya dapat mempengaruhi generasi berikutnya dalam cara yang tidak terduga.
"Untuk budaya kekerasan, yang memang sudah ada dari dulu, dari zaman saya sekolah SMA 17 tahun yang lalu, itu masih relate dan masih relevan sampai sekarang, event gausah nonton berita deh di TV, dari sosial media aja kita tau kalo misalnya budaya kekerasan di kalangan remaja itu merupakan salah satu hal yang kayanya susah untuk ditembus ya, susah untuk dicari akarnya tuh apa sebenarnya," tambahnya.
Dengan demikian, pengalaman masa lalu dapat menjadi warisan yang berat, yang terus mempengaruhi kehidupan seseorang dalam jangka waktu yang lama.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung